Strategi Mengatasi Rasa Enggan dan Menumbuhkan Semangat Tahfidz di Kelas
Menghafal Al-Qur’an adalah perjalanan spiritual yang penuh berkah dan kemuliaan. Namun, di balik keindahan proses tersebut, guru tahfidz kerap menghadapi kenyataan yang tidak selalu mudah. Di ruang kelas, anak-anak tidak selalu datang dengan semangat yang sama. Ada hari-hari ketika mereka bersemangat dan hafalannya lancar, tetapi ada pula saat di mana mereka tampak enggan, lelah, bahkan menolak untuk setor hafalan dengan berbagai alasan. Beberapa mengatakan mengantuk, sementara yang lain beralasan belum hafal atau belum siap. Fenomena ini tampak sederhana, namun sesungguhnya menjadi tantangan serius dalam menjaga kontinuitas pembelajaran tahfidz.
Ketika anak-anak enggan untuk setor hafalan, dampaknya cukup signifikan. Target hafalan yang telah direncanakan menjadi tertunda, bahkan kadang terhenti. Kelas tahfidz yang seharusnya penuh semangat dan lantunan ayat suci bisa berubah menjadi hening dan kurang bergairah. Perlahan, semangat belajar anak-anak menurun, dan motivasi untuk menambah hafalan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan sikap acuh terhadap hafalan dan mengganggu pencapaian tujuan utama, yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai seorang guru, menyadari gejala ini tidak cukup; yang lebih penting adalah mencari solusi yang efektif, lembut, dan menyentuh hati.
Salah satu kunci utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah memahami akar penyebabnya. Rasa kantuk dan ketidaksiapan anak untuk setor hafalan tidak selalu menunjukkan kemalasan. Kadang hal itu muncul karena kelelahan fisik, suasana hati yang tidak stabil, atau bahkan kurangnya kebiasaan disiplin dalam menghafal. Guru tahfidz perlu mendekati situasi ini dengan empati, bukan teguran keras. Anak-anak berada dalam fase belajar yang memerlukan pendampingan penuh kasih agar semangat mereka tumbuh dari dalam, bukan karena tekanan dari luar.
Langkah pertama yang bisa dilakukan ketika anak tampak mengantuk adalah mengajaknya untuk berwudhu. Wudhu bukan sekadar ritual penyucian diri sebelum ibadah, tetapi juga memiliki efek fisiologis dan psikologis yang menakjubkan. Air wudhu yang menyentuh wajah, tangan, dan kepala memberikan kesegaran yang mampu membangunkan tubuh dari rasa kantuk. Lebih dari itu, wudhu menumbuhkan kesadaran spiritual dalam diri anak bahwa aktivitas menghafal Al-Qur’an adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar rutinitas sekolah. Saat air wudhu menyentuh kulit, hati mereka pun teringat bahwa mereka sedang berhadapan dengan firman Allah, bukan sekadar teks yang dihafalkan. Guru dapat menanamkan makna ini dengan lembut, agar anak memahami bahwa wudhu bukan hanya penyegar tubuh, tetapi juga penyuci niat dan pikiran.
Selain berwudhu, strategi lain yang sederhana namun efektif adalah menghafal dengan berdiri. Banyak guru tahfidz menemukan bahwa postur tubuh memengaruhi tingkat konsentrasi anak. Ketika duduk terlalu lama, tubuh menjadi rileks dan mudah mengantuk, apalagi setelah makan atau di waktu-waktu siang yang panas. Dengan berdiri, aliran darah ke otak meningkat, tubuh lebih aktif, dan rasa kantuk berkurang. Guru dapat mengajak siswa berdiri sambil membaca hafalan bersama, atau bergantian menyetor ayat secara bergiliran. Aktivitas ini tidak hanya membuat anak lebih fokus, tetapi juga melatih keberanian mereka untuk melantunkan hafalan dengan suara lantang. Menghafal dengan berdiri juga bisa disertai dengan sedikit gerakan ringan atau berjalan kecil di tempat agar anak tetap berenergi tanpa kehilangan konsentrasi.
Langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah membiasakan anak mempersiapkan hafalan dari rumah. Persiapan ini melatih tanggung jawab dan kedisiplinan belajar mandiri. Guru dapat memberikan panduan sederhana tentang cara mengatur waktu murojaah di rumah, misalnya dengan menetapkan target hafalan harian yang ringan tetapi konsisten. Orang tua juga bisa dilibatkan dalam proses ini, baik dengan mendengarkan hafalan anak maupun sekadar memberikan motivasi. Ketika anak terbiasa menyiapkan hafalan sejak di rumah, proses setor di kelas menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Mereka datang ke sekolah dengan perasaan siap dan percaya diri. Kesiapan ini tidak hanya berpengaruh pada kualitas hafalan, tetapi juga pada pembentukan karakter yang bertanggung jawab dan mandiri.
Selain itu, guru perlu menanamkan kebiasaan membaca terus-menerus atau dalam istilah tahfidz dikenal sebagai murojaah. Kekuatan hafalan tidak hanya terletak pada kemampuan mengingat, tetapi juga pada seberapa sering hafalan itu diulang. Anak-anak perlu dibiasakan membaca ayat-ayat hafalan mereka berkali-kali, baik di kelas maupun di rumah. Guru dapat menjadwalkan sesi murojaah bersama sebelum memulai hafalan baru, agar hafalan lama tetap terjaga. Melalui pengulangan ini, daya ingat mereka semakin kuat, dan ayat-ayat Al-Qur’an tertanam lebih dalam di hati. Anak-anak perlu memahami bahwa menghafal bukan berarti menyelesaikan satu surah lalu berpindah ke surah lain, tetapi menjaga setiap ayat agar tetap hidup dalam ingatan.
Untuk menjaga semangat anak-anak, suasana belajar tahfidz juga perlu dikemas dengan pendekatan yang menyenangkan. Guru dapat menciptakan variasi kegiatan seperti permainan hafalan, tantangan kelompok, atau sesi pujian untuk siswa yang berusaha keras. Pendekatan seperti ini membantu anak merasa bahwa belajar Al-Qur’an bukan beban, melainkan aktivitas yang menyenangkan dan bernilai. Guru juga dapat menggunakan intonasi suara yang hangat, memberi senyum tulus, dan menunjukkan apresiasi kecil untuk setiap kemajuan anak, sekecil apa pun itu. Dalam dunia anak, penguatan positif jauh lebih efektif daripada teguran keras.
Setelah beberapa waktu penerapan strategi tersebut, perubahan mulai terlihat. Anak-anak yang semula enggan kini mulai menunjukkan antusiasme baru. Mereka datang ke kelas dengan semangat, mengambil air wudhu sebelum setor, dan bahkan saling mengingatkan teman-temannya yang tampak mengantuk. Hafalan mereka mulai lebih mutqin, artinya kuat dan stabil di dalam ingatan. Proses murojaah menjadi kebiasaan yang dilakukan tanpa paksaan. Meski perjalanan ini masih panjang, hasil awal ini menjadi sinyal positif bahwa pendekatan lembut dan konsisten dapat menghidupkan kembali semangat tahfidz dalam diri anak-anak.
Harapan ke depan adalah tumbuhnya rasa cinta mendalam terhadap Al-Qur’an dalam diri setiap siswa. Cinta ini tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi melalui pengalaman yang berulang—melalui senyum guru, ketenangan wudhu, dan kesabaran dalam mengulang hafalan. Ketika anak-anak mulai mencintai Al-Qur’an, proses menghafal tidak lagi terasa berat. Mereka akan menganggap setiap ayat sebagai teman dan cahaya dalam hidupnya. Dari sinilah akan lahir generasi yang tidak hanya hafal Al-Qur’an di lisan, tetapi juga menghayati maknanya dalam perilaku sehari-hari.
Dalam refleksi lebih dalam, ada beberapa poin penting yang dapat menjadi pegangan bagi guru dan pendidik tahfidz. Pertama, setiap anak memiliki potensi dan cara belajar yang unik. Ada yang cepat menghafal dengan mendengar, ada pula yang lebih mudah dengan menulis atau membaca berulang-ulang. Guru perlu memahami ritme belajar setiap anak agar dapat memberikan pendampingan yang sesuai. Kedua, dalam proses belajar Al-Qur’an, guru tidak hanya berperan sebagai penguji hafalan, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual. Guru perlu hadir dengan hati yang sabar dan kasih, karena hafalan tidak akan menempel di hati yang tegang.
Ketiga, belajar Al-Qur’an tidak harus dilakukan dengan pendekatan yang kaku. Suasana yang hangat dan menyenangkan justru membantu anak lebih mudah menerima pelajaran. Musik lembut, permainan edukatif, atau kisah inspiratif dari para huffaz dapat menjadi penyemangat. Keempat, guru perlu mengajarkan anak untuk mencintai proses murojaah itu sendiri, bukan hanya berorientasi pada jumlah hafalan. Jika anak memahami bahwa murojaah adalah bentuk kedekatan dengan Allah, mereka akan melakukannya dengan hati yang gembira.
Menghafal Al-Qur’an adalah perjalanan panjang, bukan perlombaan cepat. Guru yang sabar dan penuh kasih akan menjadi pemandu terbaik dalam perjalanan ini. Setiap ayat yang dihafal dengan cinta akan menumbuhkan cahaya dalam hati anak. Dan ketika cahaya itu tumbuh, tidak ada lagi alasan untuk enggan menghafal, karena mereka telah menemukan makna sejati dari belajar Al-Qur’an: bukan sekadar mengingat kata, tetapi menanamkan cahaya Allah dalam jiwa mereka sendiri.
Penulis : Samsu Dhukha AH. S. Pd, Guru Tahfidz Qur’an
